Anak Jerman dan pengungsi
- Tisha Prasetio
- Jun 16, 2016
- 2 min read
Berawal dari cerita Zia tentang percakapannya dengan Tom (nama samaran) di sekolah.
Begini kurang lebih, percakapannya:
Tom : "Ich mag nicht die Flüchtlinge" (Saya tidak suka pengungsi)
Zia : "Warum magst du nicht?" (Kenapa kamu tidak suka?)
Tom : "Ich weiss est nicht". (Aku tidak tahu)
Zia : "Gimana kalau seandainya, kamu yang jadi pengungsi?"
Tom : "Egal"
Selama 3 tahun, saya dan anak-anak menetap di kota Jena, Jerman bagian tengah sekitar 260 km dari Berlin. Banyak sekali pengalaman hidup yang sangat berharga untuk kami sekeluarga baik itu yang menyenangkan atau menyedihkan. Udara yang bersih bebas polusi, cuaca yang relatif sejuk (selain di musim dingin), jalanan dan taman yang bersih & tertata rapi, tersedia tempat bermain di setiap komplek apartemen, alat transportasi yang baik dan tepat waktu, jalan raya yang ramah untuk pejalan kaki dan pengendara sepeda, kualitas pendidikan yang bagus dan standarnya sama diberbagai sekolah adalah beberapa hal positif yang kami rasakan.
Tapi ada juga yang kurang menyenangkan dan tidak sesuai dengan budaya di Indonesia, seperti misalnya, masyarakat setempat pada umumnya tidak ramah, cuek, individualis, dan (kadang) rasis. Terlebih sejak peristiwa pemboman di Paris dan banyaknya pengungsi dari Syria yang datang di Jena. Kami sebagai orang asing (Ausländer) yang berjilbab sering terkena dampaknya. Mereka menjadi lebih rasis lagi.
Sampai terucap dari teman sekolah anak saya yang masih 7 tahun, bahwa dia benci ke pengungsi. Terus terang, saya sedih mendengar kata-kata bocah tersebut.
Saya tidak mengerti mengapa anak tersebut sampai mengatakan hal tersebut. Saya hanya membayangkan bahwa di rumahnya, dia sering mendengar ayah atau ibunya membicarakan hal-hal negatif tentang pengungsi dan bagaimana kehadiran mereka mempengaruhi kehidupan masyarakat Jerman. Pembicaraan sehari-hari di ruang makan, saat santai, saat berkumpul dengan keluarga, saat bercengkrama dengan tetangga, dll.
Apa yang dipikirkan dan diucapkan seorang anak banyak terpengaruh oleh lingkungan terdekat, terutama orang tua dan keluarga. Sulit membayangkan bahwa seorang anak 7 tahun memiliki pendapat dari hasil pemikiran dan perenungannya sendiri atau hasil pengamatan dan membaca fenomena sosial di sekelilingnya.
Sikap dan pendapat ayah dan ibunya turut membentuk persepsi anak dalam melihat dunia. Dalam melihat dan menyikapi perbedaan, ketika melihat dan berinteraksi dengan orang yang kulitnya hitam atau coklat, ketika bermain bersama anak yang matanya biru atau hitam, ketika belajar bersama dengan anak yang rambutnya pirang atau hitam.
Apakah seorang anak akan menjadi empati melihat penderitaan pengungsi atau sebaliknya membenci keberadaan mereka, itu sangat dipengaruhi persepsi orang tuanya. Ini memberi pelajaran buat saya, untuk berhati-hati dalam menyatakan pendapat atau menyikapi sesuatu. Pandangan saya tentang pengungsi, dalam hal ini, tidak hanya akan menjadi pandangan saya pribadi. Pandangan saya akan turut membentuk pandangan anak-anak saya dalam 'melihat dunia', dalam menyikapi perbedaan, dalam berempati terhadap kesulitan orang lain, bangsa lain.
Semoga kita termasuk golongan orang-orang yang dapat mengambil pelajaran dari setiap peristiwa.

Sementara itu, di lain pihak, di Leipzig kami menyaksikan pameran lukisan anak2 Jerman ynag mendukung dan bersimpati pada pengungsi. Lukisan2 tersebut menggambarkan kisah pengungsi sebelum datang, kondisi perang di negaranya, sulitnya menempuh perjalanan laut dan menantang maut, ucapan selamat datang anak2 Jerman terhadap mereka, dll.
Ummu AyyaZia, di Jena (eks Jerman Timur)
コメント